Graffiti in u'r Body

Monday 24 January 2011

PELUKIS KOMIK: TEGUH SANTOSA

Bio Data Teguh Santosa:

Bagi para pencinta komik nama Teguh Santosa tentu tak asing lagi. Komikus kelahiran Malang, Jawa Timur 1 Februari 1942 (meninggal 25 Oktober 2000) ini pernah melaju sebagai komikus papan atas Indonesia sezaman dengan R.A. Kosasih, Jan Mintaraga, Hans Jaladara dan Ganes Th. Lewat ciri khas gambar-gambarnya yang eksotik dan kedetailan garis-garis ilustratif, Teguh Santosa pernah dipinang oleh Marvel Comics salah satu penerbit komik terbesar dunia yang berbasis di New York sebagai ink-man. Serial Conan, Alibaba dan Piranha adalah tiga serial komik yang pernah digarap oleh komikus yang kesohor lewat tokoh Mat Pelor ciptaannya ini sebagai ink-man.

Teguh Santosa meninggal dunia di tengah kegalauan ketika dunia komik Indonesia ”dijajah” komik impor Jepang pada 20 Oktober 2000 silam akibat kanker yang menyerang tangan kanannya. Karya Teguh Santosa yang pertama berjudul Paku Wojo yang dibuatnya pada tahun 1964, disusul karya roman sejarah Ranggalawe di tahun yang sama. Lalu hingga ia meninggal dunia tidak kurang dari 125 judul komik dibuatnya.

Teguh yang menikah dengan Sutjiati (almarhumah) dikaruniai empat anak: Theaterina Onwardini, Dhani Valiandra, Aprodita Anggraini, dan Dody Syailendra. Jiwa seni menurun kepada Dhani dan Dody yang kuliah di Institut Seni Indonesia. Darah seni Teguh berasal dari ayahnya Soemarmo Adji dan ibunya Lasiyem yang merupakan seniman ketoprak. Mereka pemilik tobong ketoprak ”Krido Sworo pada waktu itu. Mbah Marmo—sebutan untuk Soemarmo—dikenal sebagai pelukis layar sebagai latar belakang panggung ketoprak. Teguh hanya menamatkan sekolah di SMA 4 Malang, kemudian pada tahun 1966 pindah ke Yogya dan bergabung dengan ”Sanggar Bambu” dan berguru melukis pada Kentardjo, Soenarto PR, dan sastrawan Kirdjomulyo. Menjelang meninggal dunia, komikus Teguh masih mengigau dalam ketidaksadarannya: ”Keris itu harus dilempar ke lereng Tengger...” Dan Teguh meninggal dalam tenang pada dini hari 25 Oktober 2000.



In Memoriam Teguh Santosa (1942-24 Oktober 2000):

Jualan Amplop Sebelum "Main Silat"

The King of Darkness

Corak lukisannya memang khusus. Ia menyukai "block-block" warna

gelap. Karena itu banyak yang mengolokinya sebagai ¡°King of

Darkness¡±, artinya ¡°Raja Kegelapan¡±. Corak ini sebenarnya merupakan

hasil dari suatu perkembangan yang tidak serta merta. Mula mula corak

lukisannya lebih mengarah pada ¡±gaya Yogya¡± yang sok ¡±nyeni¡±,

menurut istilah Teguh. Ia banyak menjiplak gaya illustrasi Ekana

Siswaya yang terdapat pada majalah Minggu Pagi. Waktu itu Teguh masih

duduk di bangku SMA.



¡±Maklum, sebagai remaja waktuitu rasanya tidak sreg kalau gembarnya

tidak ¡±nyeni¡±, ¡± tutur Teguh. Yang dianggap sebagai ¡±karya seni¡±

yakni lukisan-lukisan yang mengarah ke bentuk vignet, menggambar

orang matanya Cuma satu.



Tapi itu hanya satu tahap. Ketika banyak membantu di majalah ¡±Djaja

Baja¡±, ia dianjurkan untuk menggambar dengan corak illustrasi

Kentardjo S. Har atau Mieke SD yang waktu itu banyak ditemui di

Penjebar Semangat ataupun buku detektif Naga Mas.



Lalu ia pun banyak belajar dari illustrasi-illustrasi komik barat,

seperti Flash Gordon karya Alex Raymond. Dan terutama mengagumi karya

karya Taguan Hardjo, cergamis angkatan Medan waktu itu.



Jualan Amplop

Waktu SMP, bakat menggambarnya tak begitu menonjol. Dalam suatu lomba

menggambar namanya tak tersebut, meskipun hanya sebagai pemenang

hiburan. Tapi waktu kelas 1 SMA, bakatnya mulai terasa. Ia mulai

belajar menggambar secara serius di luar jam pelajaran dalam sebuah

kelompok bernama ¡±Palet Hijau¡±, bersama teman-teman dan guru

sekolahnya.



Waktu SMA, ia kerap membantu illustrasi di ¡±Djaja Baja¡±. Lalu

setelah lulus (¡¯62), ia bekerja penuh sebagai illustrator koran ¡±

Gelora¡± di Surabaya. Koran ini, sebagaimana koran waktu itu yang

hanya mengandalkan subsidi pemerintah, akhirnya bangkrut tatkala

subsidi dicabut.



Karena amat terbatasnya gaji yang ia terima waktu kerja di Gelora

itu, Teguh menyambung hidupnya (waktu itu sudah menikah) dengan jalan

membuat illustrasi pada amplop surat dan menjualnya (waktu itu harga

amplop lebih mahal dari harga perangko).



¡±Hasilnya lumayan juga untuk menopang gaji di Gelora yang hanya

cukup untuk 10 hari¡±, tuturnya.



Kerja menggambar amplop ini bertahan selama 2 tahun, sampai ketika ia

ditarik untuk kerja di majalah ¡±Kemuning¡± di Semarang di tahun ¡¯66.

Waktu majalah anak-anak ini mengalami gejala kebangkrutan, satu

setengah tahun kemudian Teguh mudik kembali ke kampung isterinya di

Kepanjen, sebuah kota kecil, 18km selatan kota Malang.



Shandora

Waktu kerja di Gelora dulu, selain membuat illustrasi, tugasnya

antara lain membuat pula cerita bergambar bersambung. Biasanya dengan

tema sejarah, misalnya : Ronggo Lawe, Airlangga, Kertanegara, dsb.



Pertama kali karyanya terbit dalam bentuk komik, berjudul ¡±Suma¡±,

tahun 63. Dari honornya sebesar 10ribu rupiah itu, ia bisa membeli

sepasang cincin kawin (menikah dengan Sutjiati, bekas teman

sekolahnya waktu di Malang tahun 64).



Sejak tinggal di Kepanjen, ia lebih produktif membuat cergam. Waktu

itu kapasitas kerjanya hanya 2 judul dalam setahun. Pertama kali

berjudul ¡±Madeline¡± dan ¡±Tebusan Dosa¡± yang diterbitkan oleh Cahya

Kumala.



Teguh mulai memancangkan tonggaknya di tengah-tengah penggemar komik

di negeri ini dengan cerita-ceritanya yang bertema khas. Ia meledak

waktu muncul karyanya yang berupa trilogi : ¡±Shandora¡± (10 jilid), ¡±

Mat Romeo¡± (7 jilid) dan ¡¯Mentjari Majat Mat Pelor¡± (10 jilid).



Tema ¡±Shandora¡± sebenarnya merupakan saduran tak langsung dari

cerita film seri ¡±Angelique¡±. Ia tidak mengingkari ini. Teguh memang

banyak mengambil inspirasi dari cerita-cerita film yang ditontonnya.



¡±Saya senang dengan tema-tema yang hangat dan ada kaitannya dengan

masalah sekarang¡±, Teguh menyebut resepnya membuat cerita untuk

komik-komiknya.



¡±Menjadi pengarang seperti saya ini sulit ¡±, kata Teguh lebih

lanjut. Maksudnya, ia harus senantiasa mendengar kata atau komentar

dari pembacanya. Tak jarang yang mengusulkan agar tokoh dalam

ceritanya tidak dimatikan, meskipun dalam situasi tersulit

bagaimanapun. Ada pula yang mengusulkan cerita disambung dan

disambung terus.



Teguh memang berusaha untuk mengikuti arah selera dari pembaca

umumnya. Untuk itu ia sengaja mendirikan sebuah persewaan buku di

rumahnya. Istrinya yang mengelola.



¡±Lumayan buat tambah beli garam. Paling tidak bisa ikut membaca¡±.



Di antara pelukis komik lainnya, Teguh memang nampak paling mapan.

Puteranya 4 : Tea Terina Onwardini, Dhany Valiandra, Aphrodita

Anggraini, dan Doddy Syailendra.



arsip : komikindonesia.com



0 comments:

Post a Comment

Graffiti in u'r Body